DBS Search ...

Friday, May 14, 2010

DONGENG KEHIDUPAN MARIO CAPECCHI

DONGENG KEHIDUPAN MARIO CAPECCHI


Bayangkan seorang anak kurus, dekil, dan liar yang
biasa Anda lihat berkeliaran di jalanan kota. Ia
mengemis, berkelahi, juga mencuri. Percayakah Anda
bahwa anak seperti itu kelak bisa menjadi ilmuwan
tersohor, peraih berbagai penghargaan internasional
Barangkali hampir semua kita akan geleng kepala.
Namun, itulah dongeng kehidupan Mario Capecchi yang
berkat riset rekayasa genetikanya tahun ini
memenangkan penghargaan bergengsi Nobel di bidang
kedokteran.

Dilahirkan dari turunan keluarga Amerika makmur, Mario
terdampar di jalanan setelah ibunya yang anti-Fasisme
ditangkap Gestapo dan dijebloskan ke kamp konsentrasi
Dachau saat pecahnya Perang Dunia II. Saat itu ia baru
berumur empat tahun. Hampir selalu kelaparan, Mario
melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Terakhir, ia
terkurung dalam sebuah rumah sakit bersama anak-anak
jalanan lain. Mereka ditelanjangi dan tiap hari hanya
dijatah secuil kecil roti dan segelas kopi. Saat hari
menjelang siang, mereka semua selalu jatuh tak
sadarkan diri di ranjang-ranjang sempit yang
berimpit-impitan, tanpa seprei dan tanpa selimut.

Mario lolos dari maut saat ibunya datang menjemput.
Setengah sakit jiwa, sang ibu membawa anaknya yang
berumur 9 tahun kembali ke Amerika. Mario lantas
dibesarkan oleh paman dan bibinya dalam lingkungan
komunitas Quaker (salah satu kelompok religius yang
hidup secara kolektif). Sekalipun belum pernah
mencicipi bangku sekolah dan tidak bisa berbahasa
Inggris, ia langsung dimasukkan ke kelas tiga SD di
sekolah Quaker. Para guru membiarkannya bereksplorasi
dengan cat dan mural sebagai sarana berkomunikasi.

Di tingkat SMA, ia merasa para guru memperlakukan
murid seolah-olah sudah mahasiswa. Guru berdialog
dengan murid. Tidak ada buku teks. Itu membuat belajar
jadi terasa menyenangkan. Ia juga menyerap nilai
tanggung jawab sosial dari lingkungan Quaker-nya. Ada
kesadaran tentang masalah-masalah dunia. Memang tidak
pernah diajarkan, tetapi terasa bahwa kita dapat
bahkan harus melakukan sesuatu untuk membuat dunia
jadi lebih baik.

Bekal pengetahuan dan nilai-nilai hidup dari sekolah
Quaker ditambah pengaruh pribadi pamannya yang
berprofesi sebagai fisikawan akhirnya menuntun jalan
hidup Mario menjadi ilmuwan. Dalam pekerjaan, ia
dikenal sebagai pribadi yang sangat kreatif,
profesional, dan terampil bekerja sama dalam tim.
Dalam kehidupan pribadi, ia punya keluarga yang
harmonis.

Ada kutipan menarik dalam orasi Mario ketika menerima
Kyoto Prize tentang hakikat dari pendidikan.
Merenungkan masa kecilnya sendiri, ia berpendapat:
Satu-satunya hal yang perlu kita sediakan bagi semua
anak kita adalah cukupnya kesempatan untuk mengejar
minat-minat dan mimpi-mimpi mereka. Tingkat pemahaman
kita tentang perkembangan manusia terlalu dangkal
untuk memprediksi siapa di antara anak-anak itu yang
akan menjadi Beethoven, Modigliani, atau Martin Luther
King berikutnya.** (dari berbagai sumber)